Tumbuh
kembang sebuah bangsa tidak terelakkan dengan dunia sastra, singgungannya
begitu lekat. Laiknya pasang surut air laut, akibat tarik menarik antara bumi dengan
bulan. Pasang terjadi tatkala sang rembulan begitu dekat dengan bumi,
sebaliknya surut melanda ketika mereka berjauhan. Sama halnya dengan hubungan
kita dengan Tuhan. Ketika dekat, damailah sanubarimu, sebaliknya semakin engkau
jauh maka semakin gersang kehidupanmu. Keras, pedih dan jauh dari kehangatan
cinta Illahi. Begitulah hubung kait mereka.
Sastra
membuat manusia berpikir, menjadikan mereka menyukai keindahan dan anti
kekerasan. Meski sastra bukanlah sebuah kebutuhan pokok, namun kehadirannya tak
bisa diabaikan begitu saja. Bangsa ini dengan founding fathernya (Soekarno,
Hatta serta kroni) begitu dekat dengan sastra. Mereka adalah penikmat kata. Apresiasinya
luar biasa terhadap karya hasil cipta, rasa dan karsa seorang manusia berwujud
sebuah sebuah buku. Buku begitu akrab dengan kehidupan mereka. Jika tidak
disebut kutu buku, mereka adalah penggila buku. Pemikiran demi pemikiran yang di
cerna dari sebuah buku, membuat paradigma mereka bermetamorfosis. Dan lihatlah
hasil kerjanya, sebuah bangsa yang merdeka, terlepas dari kekangan penjajah. Berbentuk
sebuah negara berdaulat, Indonesia Raya.
Sastra
tak melulu berbicara tentang kalimat-kalimat metafor maupun hiperbolik yang
sukar di maknai, turunannya variatif. Cobalah ambil sebuah komik karya Beny and
Mice, yang melulu menyajikan realita kusamnya negeri ini dengan renyah. Atau kartun
Upin-Ipin, sederhana, namun memikat karena dekat dengan kehidupan kita. Itulah wujud
terluar dari dunia sastra. Sastra mengusung sebuah misi, memanusiakan manusia. Itu
yang terpenting.
Minimnya apresiasi terhadap buku
Ketika
sebuah buku menjadi representasi sastra yang paling nyata, taruhlah buku
kompilasi cerita pendek, cerita anak atau novel sekalipun. Nyatanya itu tidak
menjadi suatu hal yang penting, alih-alih menjadi teman sehari-hari, malah jadi
koleksi saja. Penghias rak buku, atau teman tidur semata. Beribu makna serta
pelajaran yang terkadung, tergeletak percuma. Apalagi di era serba instan dewasa
ini, mengkaji sebuah buku nampaknya menjadi perbuatan yang membuang waktu. Apalagi
waktu adalah uang bukan? Sayang beribu sayang. Dan lihatlah kehidupan bangsa
ini yang menjauhi budaya baca, anda bisa terjemahkan sendiri.
Manusia
itu berbeda dengan binatang. Punya moral, akhlak, nurani dan sanubari. Berkasih
sayang, peduli, tenggang, empati dan tak sungkan untuk menolong. tapi beberapa
sifat itu, dewasa ini mulai luntur. Luruh beriringan dengan kemajuan iptek yang
tak dibarengi dengan peningkatan moral. Hasilnya target oriented, money
oriented, and achieve oriented yang dalam perjalanannya seringkali mengabaikan
norma-norma. Libas saja, yang penting tujuan tercapai. Dan sadar atau tidak
sadar, kita telah hidup dalam kondisi yang seperti itu. Lantas apakah itu harus
kita singkirkan? Tentunya tidak mungkin, impossible. Kita pun tak mungkin
menyingkir, menghindar atau bahkan tak mau bersinggungan sama sekali. Mustahil!
Disanalah
sastra harus berdayaguna, mengembalikan jati diri manusia, memanusiakan
manusia.
Sebuah langkah pemulihan keberadaban manusia
Pendidikan
menjadi alat utama untuk mengubah, setidaknya memperbaiki borok yang ada. Namun
hal tersebut bukanlah satu-satunya jalan, pelbagai ikhtiar bisa dilakukan. Pemberdayaan
manusia untuk gemar membaca adalah sebuah keharusan. Karena sejatinya manusia
selalu membutuhkan dan mencari hal baru. Dia ingin selalu terdepan, mahfum dan
berkehendak menguasai segala. Dan itu tak mungkin digapai secara instan, serba
cepat dalam kurun masa sesingkatnya. Seperti transfer data via kabel data atau
bluetooth, ataupun mengunduh aplikasi. Kita bukanlah mesin, butuh proses yang
mengorbankan waktu.
Lewat
membacalah pemulihan itu diupayakan. Pemberdayaan membaca untuk memulihkan
sakit bangsa ini.
Dan
ketika engkau menyadari akan hal itu, maka bersegaralah diri menuju luasnya
pertiwi. Mencari orang demi orang yang satu pemikiran. Lantas berbagai
kelompok, organisasi maupun komunitas akan ditemukan. Salah satunya adalah
Forum Lingkar Pena. Disini engkau akan menemukan berbagai macam manusia, dengan
berbagai karakter namun memiliki kesamaan, yakni gilaan buku.
Tak
ada yang luar biasa dari komunitas tersebut, tak ada proyek sosial bantuan anak
yatim, penanggulangan bencana, pencegahan korupsi ataupun proyek-proyek lainnya
yang prestisius. Yang ada hanyalah kelompok diskusi, yang rajin mengupas suatu
isu tertentu. Tentunya pula diskusi bukanlah suatu hal yang menarik, karena
hanya berkutat di ranah pemikiran. Namun dari pemikiran itu, semua hal bermula.
Apalagi jika pemikiran maupun persepsi positif yang dilontarkan, mampu meresapi
pola pikir peserta yang lain, sehingga tergugah untuk berbuat suatu hal. Pergulatan
pemikiran yang selanjutnya berpindah media, penuangan pemikiran pada selembar
kertas. Kertas itu dicetak, disebarkan melampaui jarak dan batas antar pulau
hingga akhirnya dibaca oleh seseorang dan melahirkan reaksi demi reaksi lainnya.
Namun
komunitas ini masih masihlah berupa embrio, belum menjadi manusia yang
seutuhnya. Tapi embrio ini akan tumbuh berkembang, matang dan dewasa hingga
akhirnya berbuat serta berkarya. Ia akan tumbuh penuh potensi, jika senantiasa
dirawat, dijaga dan diperciki kasih sayang.
“Lantas rawatlah embrio ini dengan
penuh kasih sayang. Would you!?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar