Bangsa
ini (dalam tanda kutip → “Indonesia”), bukanlah bangsa yang mempunyai etos “kerja
keras.” Silahkan anda bisa tafsirkan sendiri apa maknanya, tapi jika butuh
bantuan, silahkan pilih pilihan yang ada di dalam kurung berikut (Malas, Males,
Kedul, Lazy, and any more)? Jadi bangsa ini adalah bangsa yang... Tapi-tapi
bukankah kita sendiri juga termasuk salah satu bagian dari bangsa ini? Itu
artinya kita pun termasuk orang yang ... juga dong? Grrr!#*$ “Kurang asem!” Eits,
tahan emo plus ego anda? Jangan dulu terprovokasi atau tersinggung dengan
pernyataan yang berbau sindiran tadi diatas. Tahan nafas anda, hembuskanlah
perlahan. Tarik nafas kembali, tahan beberapa detik dan hembuskan secara
perlahan-lahan. “Lho kok?”
Nah sekarang cobalah
untuk memasang telinga kiri dan kanan anda baik-baik, dengarkanlah pembicaraan
dari mereka yang nota bene adalah pegawai. Bentar-bentar, Ini bukan tutorial
agar anda menjadi tukang nguping cap jempol kaki ya, sama sekali bukan. Tapi
sebuah langkah riset sederhana, agar anda mengetahui realita kehidupan ini
sesungguhnya. Dengarkanlah curhatan mereka. Mau itu dari mereka yang berlabel pegawai
negeri, pegawai bukan negeri, swasta, kontrak, outsourching, atau pegawai
apapun itu. Terserah anda, pokoke dari pegawai aja. Dengarkanlah baik-baik, dan
suatu saat anda pasti akan mendengar beraneka macam keluhan yang meluap dari
perkataan mereka. Tentunya keluhan seputar kehidupan pekerjaan mereka. Ada yang
mengeluhkan gaji yang tak kunjung meningkat, tak pernah di promosikan naik
jabatan, kelakuan atasan maupun rekan kerja yang memuakkan, hingga akhirnya
bermuara pada kata “Ah, hoream gawe teh euy, capek!” Lho. “Lantas apa yang bisa
anda pelajari dari hal tersebut?”
Keluhan pertanda ada
sesuatu hal yang tidak beres. Apakah anda pernah mengeluh? Jikalau belum
pernah, WoOoOoOoW luar biasa, super sekali! Namun bukan itu permasalahannya.
Kita kembali ke laptop, eh maksut ne ke pokok pembicaraan tulisan ini. “Bukan
Bangsa Pekerja Keras.” Jika anda memiliki rekan yang bekerja sebagai seorang
operator produksi di sebuah pabrik, coba tanyakan seberapa banyak (Quantity)
jumlah barang yang di reject dalam satu hari kerja. Jika terlalu singkat, taro
lah dalam kurun satu bulan. Berapa banyak? Berpindah kepada mereka yang pekerja
kantoran, berapa banyak aplikasi (project) yang bisa diselesaikan dalam waktu
tiga hari kerja. Dari jawaban itu, kemudian ambil sebuah konklusi. Apa
kesimpulan anda?
Tingginya jumlah barang
yang di reject, sehingga membuat pekerjanya harus lembur setiap hari. Atau
lambatnya penanganan suatu aplikasi project, hingga memakan waktu
berminggu-minggu, itu mengindikasikan sebuah hal. “Kita ini malas!” Malas untuk
bekerja keras, apalagi menghasilkan cipta karya yang berkualitas. Penginnya
kerja senyaman dan sesantai mungkin, dengan penghasilan setinggi mungkin.
“Mungkinkah?” Anda bisa setuju ataupun tidak, silahkan saja. Ini bukan sebuah
dogma, yang kudu di telan mentah-mentah. Hanya sebuah obrolan ringan semata
tentang perilaku kita dan lingkungan kita. Tentang kelakuan penghuni negeri
ini, dimana kita hidup dan menjalani kehidupan bersama mereka.
Sejenak mari kita telaah
tingginya angka pengangguran intelektual di negeri ini, itu salah siapa ya?
Apakah perusahaan demi perusahaan yang bejibun di negeri ini sudah penuh
pekerja, sehingga tidak ada lowongan pekerjaan lagi yang tersisa? Atau
kejomplangan antara dunia kampus dengan dunia kerja begitu kentara, sehingga
fresh graduate tak lagi qualified? Bagaimana dengan berwiraswasta? “Ah tak
punya modal!” “Masa capek-capek kuliah mau jadi pengusaha? Gak ada tuh
pengusaha sukses lulusan kampus!” Atau malu oleh tetangga sebelah? “Weleh-weleh!”
Bangun tidur, terus ngopi
sambil menghisap asap tembakau. Buka facebook, twitter and many other, up date
status dulu. Phone or bbm sang terkasih, “Hai beb, udah bangun belom?”
Wueekk...
Muda foya-foya.
Tua kaya-raya.
Mati masuk ....ka.
Dan akhirnya kita bisa
bersenandung ria, yuk kita nyanyikan bersama-sama: “Inilah Indonesia Raya!?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar