Tiga
hari kebelakang, si babeh membeli seekor ayam kampung betina. Dia beri nama si
peyang, karena warna bulunya yang cokelat namun pudar coraknya. Ayam itu dibeli
untuk menggantikan beberapa ekor anak ayam yang raib entah kemana. Kemungkinan
disantap musang yang gemar mengkonsumsi dagingnya. Memang beberapa hari
sebelumnya, terlihat tiga ekor musang yang main kucing-kucingan dengan ayam
berikut kelinci yang ada di rumah. Nahas si anak ayam jadi korban, sementara
yang lainnya selamat serta sehat walafiat.
Si peyang dibeli dari
tetangga sebelah rumah. Namun selepas transaksi jual beli dilakukan, si peyang
enggan balik ke rumah si empu sebelumnya. Mungkin dia merasa sudah mempunyai
juragan baru, sehingga sikapnya pun berubah. Suatu hari si peyang dikejar-kejar
pejantan yang tengah beranjak dewasa dan harus menyalurkan hasrat biologisnya alias
lagi puber (emang manusia? He), dia malah lari tunggang langgang kedalam rumah
dan mencari si babeh. Mungkin si peyang hendak minta tolong dari beringasnya si
pejantan (alamaak). Tak hanya itu, makin hari diperhatikan si peyang seperti
keluarga baru saja. Dia keluar masuk rumah seenaknya tanpa permisi coba? Hmmmm.
Tak hanya si peyang yang kelakuannya macam
bocah ingusan, di rumah ada empat ekor kelinci lokal hasil silangan dengan
kelinci asutralia. Mereka berinisial ‘delang, simon, kadas dan kaus kaki.’ Kelinci
ini sisa-sisa dari peternakan kelinci kepunyaan penulis yang sebagian sudah
ludes terjual habis (best seller), namun anehnya mereka belum berkembang biak
kembali (infertilitas kali ya?). Delang dan kawan-kawan juga memiliki tabiat yang unik,
beda dengan kelinci pada umumnya yang liar dan kurang bersahabat dengan manusia
termasuk si empunya. Si delang dkk juga rajin keluar masuk rumah. Begitu pintu
rumah terbuka, mereka hilir mudik kayak angkot saja. Memang kelinci-kelinci
yang ada di rumah, sering penulis lepaskan dari kandang dari pukul 7 pagi
nyampe pukul 4 sore. Alasannya biar gak penyakitan seperti kelinci pada umumnya
yang sering kena panyakit kulit jika di kurung di dalam kandang melulu.
Si delang dan kawan-kawan
punya jadwal tetap keluar dari rumah, inilah uniknya. Setelah seharian mereka
berkeliaran di halaman rumah, hingga menyambangi kebun milik tetangga, mereka
suka pulang sendiri kerumah. Otomatis lho, tanpa perlu kita cari. Jika pun
harus dicari, mereka tak sukar untuk ditangkap. Kecuali yang hendak menangkapnya
orang tak dikenal. Mereka pasti ngibrit pake jurus seribu kaki, kabur dari si
orang asing. Mungkin takut diculik kali ya? He.
Dulu sewaktu penulis
masih makan bangku sekolah dasar, almarhum kakek hobi memelihara hewan. Baik itu
yang umum menjadi peliharaan manusia, hingga hewan yang tak lazim di miliki. Penulis
masih ingat jika dahulu kakek mempunyai anak macan (meong bahasa sundanya mah),
musang dan elang putih. Uniknya hewan liar yang sejatinya buas ini, justru
ramah lho. Bahkan mereka tak memakan daging laiknya binatang liar di alam
bebas, malah rajin minum susu dan makan roti tawar isi kornet atau keju. Nah,
nah, nah.
Hewan-hewan yang ada di
rumah itu, dekat dengan pemiliknya. Tak lagi buas dan malah suka bercengkrama
dengan memeluk kita, diam di dekat kaki, hingga ikut jalan-jalan jikalau si kakek
keluar dari rumah. Luar biasa bukan? Hewan pun punya rasa, mereka ingin
disayangi dan bahkan menyayangi si empunya pula. Meskipun asal muasalnya adalah
makhluk liar yang cenderung buas dan berbahaya. Hmmmm tapi kenapa ya manusia
jaman sekarang malah lebih buas daripada hewan? Saling gontok-gontokkan, bahkan
tak sungkan lagi untuk mengambil nyawa orang lain. Hanya karena persoalan sepele,
“perut.” Masya Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar