Konflik antar entnis, penindasan, fitnah,
isu agama, kira-kira mana yang paling mendekati realita dalam tragedi
Rohingnya? Semua pihak mungkin punya alibi, punya persepsi tersendiri bahkan
punya pembenaran terhadap isu tersebut. Yang pasti menghilangkan nyawa seorang
manusia, adalah sebuah kebiadaban. Apalagi jika jumlah nyawa yang melayang, tak
lagi dapat dihitung dengan jari.
Tak ada asap, jika tak ada api. Tak
mungkin suatu peristiwa tiba-tiba terjadi begitu saja, jikalau tiada pemicu.
Begitu pula dengan rohingnya. Kita bisa flash back kebelakang, ketika tahun
1784 kaum budhis menyerang, membunuh dan menghancurkan kaum muslim. Tak luput
tuk merampok serta membumihanguskan semua properti milik kaum muslim Myanmar
yang dewasa ini populer dengan sebutan kaum Rohingnya. Kenapa terjadi hal itu?
Tentunya ada trigger yang melahirkan beribu penafsiran pada setiap kepala.
Pun ketika isu Rohingnya berhembus
karena mereka bukanlah WNA (Warga Negara Asli) Myanmar, sehingga tak punya hak
tuk membangun peradaban di atas negeri itu. Lagi-lagi itu tak bisa dijadikan
sebuah pembenaran, untuk melakukan kontes penghilangan nyawa. Hingga ke
pemberitaan terkini, bahwa penghilangan nyawa besar-besaran itu bermula dari
kelakuan bejat tiga orang oknum yang diduga etnis Rohingnya. Mereka merampok,
memperkosa dan bahkan tega membunuh seorang wanita etnis Budha, hanya untuk
memperoleh modal Kawin semata. Sehingga menimbulkan kegeraman dan akhirnya
berujung pada pertikaian yang menumpahkan darah. “Lagi-lagi hal tersebut tak
pantas untuk dijadikan alasan!”
Manusia adalah makhluk kreasi Tuhan
yang sempurna, kata-kata ini bukanlah menjiplak dari sebuah lagu. Namun
realitanya memang seperti itu. Lebih tinggi dari hewan, karena punya otak,
nurani dan hati. Sehingga sebelum berbuat sesuatu hal, mereka mampu berpikir
dan menimbang ekses positif maupun negatif yang nantinya akan muncul. Tapi bisa
lebih rendah dan lebih bejat ketimbang binatang, tatkala nafsu yang dijadikan
komando. Karena tak ada hewan yang memangsa ataupun membunuh keturunannya
sendiri, tak seperti manusia yang saling gontok-gontokkan termasuk dengan
saudara sedarah. Hewan pun tak serakah, sehingga jarang yang mengidap penyakit
kanker, tumor, hingga aids sekalipun. Berbeda dengan manusia yang tak pernah
berhenti meraup apa yang ada di depan matanya.
Namun kreasi Tuhan tercanggih itu
gemar membuat kontroversi, salah satunya dalam tragedi Rohingnya. Penulis
tidaklah membela salah satu pihak, meski di KTP tertera label Islam sebagai
Agama sehingga harus punya empati terhadap korban tragedi tersebut. Tidak sama
sekali. Yang musti digaris bawahi dalam kasus ini adalah, “Damai aja kali? Toh
damai itu Indah!” Kekerasan, mengambil hak orang lain dengan cara melanggar
hukum, bahkan membunuh, bukanlah karakter seorang manusia. Karena pada dasarnya
manusia penyuka ketentraman, hidup saling dalam kebersamaan serta berkasih
sayang. Tak ada seorang pun manusia yang senang, jika memiliki musuh dalam
hidupnya. Lantas kenapa masih juga sikut-sikutan? “Udah ah! Baikkan sana?!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar