Rabu, 01 Agustus 2012

Tak Ada Asap Jikalau Tak Ada Api #suara sumbang tentang tragedi Rohingnya




            Konflik antar entnis, penindasan, fitnah, isu agama, kira-kira mana yang paling mendekati realita dalam tragedi Rohingnya? Semua pihak mungkin punya alibi, punya persepsi tersendiri bahkan punya pembenaran terhadap isu tersebut. Yang pasti menghilangkan nyawa seorang manusia, adalah sebuah kebiadaban. Apalagi jika jumlah nyawa yang melayang, tak lagi dapat dihitung dengan jari.

            Tak ada asap, jika tak ada api. Tak mungkin suatu peristiwa tiba-tiba terjadi begitu saja, jikalau tiada pemicu. Begitu pula dengan rohingnya. Kita bisa flash back kebelakang, ketika tahun 1784 kaum budhis menyerang, membunuh dan menghancurkan kaum muslim. Tak luput tuk merampok serta membumihanguskan semua properti milik kaum muslim Myanmar yang dewasa ini populer dengan sebutan kaum Rohingnya. Kenapa terjadi hal itu? Tentunya ada trigger yang melahirkan beribu penafsiran pada setiap kepala.
            Pun ketika isu Rohingnya berhembus karena mereka bukanlah WNA (Warga Negara Asli) Myanmar, sehingga tak punya hak tuk membangun peradaban di atas negeri itu. Lagi-lagi itu tak bisa dijadikan sebuah pembenaran, untuk melakukan kontes penghilangan nyawa. Hingga ke pemberitaan terkini, bahwa penghilangan nyawa besar-besaran itu bermula dari kelakuan bejat tiga orang oknum yang diduga etnis Rohingnya. Mereka merampok, memperkosa dan bahkan tega membunuh seorang wanita etnis Budha, hanya untuk memperoleh modal Kawin semata. Sehingga menimbulkan kegeraman dan akhirnya berujung pada pertikaian yang menumpahkan darah. “Lagi-lagi hal tersebut tak pantas untuk dijadikan alasan!”
            Manusia adalah makhluk kreasi Tuhan yang sempurna, kata-kata ini bukanlah menjiplak dari sebuah lagu. Namun realitanya memang seperti itu. Lebih tinggi dari hewan, karena punya otak, nurani dan hati. Sehingga sebelum berbuat sesuatu hal, mereka mampu berpikir dan menimbang ekses positif maupun negatif yang nantinya akan muncul. Tapi bisa lebih rendah dan lebih bejat ketimbang binatang, tatkala nafsu yang dijadikan komando. Karena tak ada hewan yang memangsa ataupun membunuh keturunannya sendiri, tak seperti manusia yang saling gontok-gontokkan termasuk dengan saudara sedarah. Hewan pun tak serakah, sehingga jarang yang mengidap penyakit kanker, tumor, hingga aids sekalipun. Berbeda dengan manusia yang tak pernah berhenti meraup apa yang ada di depan matanya.
            Namun kreasi Tuhan tercanggih itu gemar membuat kontroversi, salah satunya dalam tragedi Rohingnya. Penulis tidaklah membela salah satu pihak, meski di KTP tertera label Islam sebagai Agama sehingga harus punya empati terhadap korban tragedi tersebut. Tidak sama sekali. Yang musti digaris bawahi dalam kasus ini adalah, “Damai aja kali? Toh damai itu Indah!” Kekerasan, mengambil hak orang lain dengan cara melanggar hukum, bahkan membunuh, bukanlah karakter seorang manusia. Karena pada dasarnya manusia penyuka ketentraman, hidup saling dalam kebersamaan serta berkasih sayang. Tak ada seorang pun manusia yang senang, jika memiliki musuh dalam hidupnya. Lantas kenapa masih juga sikut-sikutan? “Udah ah! Baikkan sana?!”



Tidak ada komentar:

Posting Komentar