Senin, 13 Agustus 2012

Ayam Negeri dan Futsal



            Apa hubungannya antara ayam negeri dan futsal? Apa ayam sekarang jago main futsal (nothing impossible bukan), atau pemain futsal yang doyan ayam negeri (alternatif mahalnya ayam kampus), atau main futsal di kandang ayam negeri (waaah, ini ngaco pisan)? Pastinya tidak ada keterikatan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Atau mungkin saja ada, meskipun baru sebatas kemungkinan semata.  
            Tapi cerita yang berikut ini ada hubungannya lho! Meskipun tak jelas apa efek akibat keterkaitan keduanya, abaikan saja. Begini ceritanya:
            Suatu malam, selepas bermain futsal, saya dan temen-temen seperti biasa nangkring pinggir jalan. Kami kongkow di samping lapak tukang soto di jalan Gunung Putri, itu tuh kampung yang terkenal dengan paberik tahu sumedangnya yang terletak di jalur provinsi antara Purwakarta dan Bandung. “Tahu kan?” Kalo gak tahu, itu mah kebangetan pisan! Coba atuh main kesini? Purwakarta masih luas lho, bukan hanya situ buleud aja. He he he.

            Seperti biasa obrolan seputar pertandingan futsal yang telah usai, kembali dibahas. Mulai dari membahas kesalahan strategi, salah memakai sistem pertandingan, salah nempatin personil tim, hingga ke salah memakai kostum yakni pake baju renang (Lho! Ini teh mau renang atau diving ya?).
            Ketika konsentrasi, khusyuk dan tu’maninah dengan pembicaraan diatas (hmmm, emang lagi shalat ya?), kami tak menyadari jika di jalan raya sedang terjadi kemacetan. Rute jalan yang mendaki dan menurun, memang sering menyebabkan kemacetan karena biasanya truk besar yang membawa hasil bumi sering kewalahan mendaki akibat beban berat. Dan kami pun sebagai warga setempat, sudah terbiasa dengan hal itu, sehingga acuh saja. “Aah, sudah biasa.”
            Tapi ada yang tidak biasa dalam kemacetan kali ini. Ketika beberapa kendaraan terjebak dalam sebuah kemacetan, seorang kernet truk berteriak-teriak. Begini kalau tidak salah teriakannya:
            “Woooooy jang, itu aya hayam!”
            “Ayam? Ayam apaan? Malam-malam begini kok teriak begituan.” Komen saya dalam hati. Kemudian si kernet kembali berteriak.
            “Itu hayam jang. Di tengah jalan. Cokot-cokot!”
            Setelah lama berunding dalam sebuah konferensi kilat (widih gayanya! Kayak pejabat lagi rapat aja), kami pun merapat ke pinggir jalan.
            “Aya naon mang? Gogorowokan peuting-peuting!” tanya salah seorang rekan saya berinisial “Bucek” (hmmm, bucek depp itu tea bukan? He).
            “Itu jang, hayam sing galoler di tengah jalan kitu. Nyaah bisi kageleng, coba cokot jig!”
            Pasca melakukan inspeksi mendadak ke tengah jalan, ternyata memang didapati beberapa ekor ayam negeri yang terikat kakinya dan menggelepar-gelepar. Jumlahnya ada sekitar tiga ekor ayam.
            “Wah bener euy si amang!” komen bucek.
            “Bantuan urang yeuh, eureunkeun mobil anu keur maju, bisi urang anu kagelengna.” Lanjut dia.
            Dan akhirnya setelah berkubang dalam peluh dan payah, ketiga ayam itu berhasil bucek ambil. Sorak sorai pun membahana di seantero jalan raya, hip hip huuray, hip hip huuray (ini kok kayak apaaa gitu? Ha ha ha). Bucek pun kembali ke kerumunan dengan senyum kemenangan. Bahkan ia mengangkat ayam tersebut ke atas langit, laiknya seorang atlit yang mendapatkan medali emas di Olimpiade London 2012. Lagu Queen pun segera di iringkan: “We are the Champion.... na na na.” Lho?
            “Ieu hayam, urang naon keun nyak?” tanya nya.
            “Geus urang liwet wae.” Saran salah satu rekan. Yang lain pun ikut menimpali.
            “Heueuh di liwet wae. Lumayan euy. Berkah Ramadhan.”
            “Di bakar aja.”
            “Sate-sate.”
            Dan berbagai komentar demi komentar lainnya, yang silih bergantian. Hingga akhirnya, lagi-lagi lewat musyawarah mufakat dalam sebuah konferensi kilat, keputusan diambil. Ayam tersebut akan di jadikan lauk di liwetan malam kali ini. Semua wajah yang sebelumnya lelah, berubah sumingrah penuh semangat. 
            “Alhamdulillah ya? Sesuatu banget.” Celetuk salah satu rekan kami, dan kami pun terbahak-bahak dibuatnya.   
            Tapi kebahagiaan itu sirna seketika, hanya sekejap saja kami diliputi kebahagiaan yang teramat. Itu karena: waktu imsyak sudah datang, sehingga kami tak sempat membuat nasi liwet nya. Eeehhh bukan, bukan! Bukan begitu ceritanya, ini salah skenario nih. Ketika masih asyik dengan perbincangan seputar nasib si ayam negeri, lalu ada seorang pria paruh baya yang celingak-celinguk mendatangi kami dengan penuh harap.
            “Punten kang, tadi ningal hayam teu anu murag di tengah jalan?”
            Kami semua yang tadinya ricuh tak tentu, mendadak menutup mulut. Suasana menjadi hening, dibalut dengan hembusan angin malam yang beku menjadikan saat itu begitu penuh tanya (?*%#$@?). Bucek pun angkat suara.
            “Hayam? Hayam naon mang?”
            “Hayam negri. Tadi ditalian dina motor, eehhh si tali na pegat, jadi weh murag.”
            Bucek menanya si pria misterius tersebut penuh kehati-hatian, bermaksud menelisik kebenaran perkataannya.
            “Oooooh kitu nyak. Emang aya sabaraha hiji hayam anu murag teh?”
            “Tilu ekor kang. Eta hayam teh pesenan ibu-ibu, kanggo icaleun enjing.”
            Merasa informasi yang diberikan pria misterius itu benar adanya, bucek pun dengan berat hati menyerahkan ketiga ekor ayam tersebut (tentunya sambil sesenggukan, meski dalam hati). Dan ujung-ujungnya liwet party pun urung digelar. Gagal permanen.
            “Heeeeuuuuuh... Eta sih niat na di liwet, coba jang dijual, jigana si anu boga hayam teh moal balik deui kadieu.” Dan semuanya tertawa tanpa perlu dikomandoi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar