Jumat, 10 Agustus 2012

Etika Lampu Merah


#1
Senggol-senggolan di jalan raya.
            Cerita kali ini bermula ketika saya menggeber si blackie (inisial tunggangan roda dua kesayangan penulis), dalam perjalanan pulang dari Bandung menuju Purwakarta. Sore hari itu seperti biasa blackie melesat dengan kecepatan sedang, tak sampai angka 50 km yang nongol di spedometer. Ketika melaju di daerah sekitar Cibeureum, Cimahi, ada seorang pengendara sepeda motor yang melajukan kendaraannya agak serampangan. Maksudnya si pengemudi ini doyan nyalip kanan dan nyalip kiri kendaraan lain, dengan manuver menyilang tajam yang bisa membahayakan pengemudi lainnya (emangnya lagi drag race ya?). “Ah itu sudah biasa.” Gumamku melihat keadaan di jalanan, yang dewasa ini memang semakin semrawut, dan saya pun tak ambil pusing karenanya. 

            Ketika terus melaju dengan si blackie, saya melihat si pengemudi drag race itu kembali. “Eeeh, ketemu lagi.” Namun dia tak memacu kendaraannya seperti sebelumnya, malah lebih lambat ketimbang laju si blackie. Posisi si pengemudi drag race itu, tepat di depan saya. Lebih tepatnya lagi di sisi sebelah kiri dari si blackie. Saya berpikir: “Aku salip aja ah itu orang.” Kondisi jalan pun mengijinkan, karena di depan si blackie, selain si mr drag race itu, cuma ada sebuah sedan berwarna hitam. Jarak antara kedua kendaraan itu pun berjauhan, sehingga ada ruang tuk menyalip.
            Setelah menimang-nimang secara expres, saya pun kemudian memacu si blackie. Melaju diantara mr drag race dan si sedan hitam, artinya si saya berada tepat di tengah-tengah keduanya. Laju kecepatan yang dipacu tetaplah sedang. Perlahan si blackie menyusul pantat kedua kendaraan tersebut (lho emangnya kendaraan ada pantatnya gitu?), dan kemudian insiden pun terjadi.
            Ketika stang si blackie hampir sejajar dengan stang si mr drag race, mendadak si mdr (singkat aje ye?!) oleng ke sebelah kiri kendaraan saya. Dan ... Braakk!!! Benturan pun tidak terhindarkan. Namun karena laju kendaraan yang lambat, si blackie dan si mdr hanya oleng saja, tak sampai terjungkal di tengah jalan. “Gila itu orang! Untung gak nyungsep nie motor, kalo ampe begitu, bisa-bisa gak lebaran nih!” Protes si saya dalam hati meski tanpa melahirkan sumpah serapah lainnya, maklum gie puasa (alesan aje kali, apa takut? Weew). Pasca benturan kecil itu, saya menoleh ke belakang, takut terjadi sesuatu hal yang diinginkan (eh maksudnya #tidak diinginkan# he). Nampak si mdr sehat walafiat, selamat dunia akhirat (lho?). Dan saya pun memacu kembali si blackie. “Sudahlah, yang penting selamat.”
            Eh ternyata si mdr tidak terima dengan kejadian yang sudah lalu-lalang (maksudnya: berlalu) itu. Dia mengejar saya dan si blackie. Kemudian si mdr menepuk bahu saya dan menyerempet si blackie, menggiring ke pinggir jalan dengan menghalang-halangi bahu jalan. Dia menunjuk-nunjuk saya, dengan maksud agar menepi ke pinggir jalan. Saya pun manut saja. “Nothing to lose, soale i’m innocent devil.”
            Ketika sampai di tepi jalan, jreng-jreng si mdr langsung membuka jaketnya. Memperlihatkan seragam kebesaran dia sebagai korps AURI (alias angkatan udara republik indonesia). “Lho apa maksudnya? Mau peragaan busana om?” sergahku.
            Dia langsung memaki saya tanpa mukadimah terlebih dahulu.
            “Eh kamu! Kalo pake motor itu yang bener dong! Jangan ngebahayain orang lain!” semprot si mdr. (Lho emang kalo pake motor itu gimana ya?).
            “Kamu seneng ya kalo orang lain celaka?” Lanjut dia meneruskan pidatonya. Saya kemudian mencoba menjelaskan kronologis kejadian sehingga ke dua motor saling senggol-senggolan.
            “Maaf pak, tadi saya maju dan coba nyalip bapak karena jalannya lowong. Cukup untuk kendaraan saya melewati kendaraan bapak. Tiba-tiba motor bapak oleng ke arah saya ketika saya sudah dekat dengan bapak, alhasil ya senggol-senggolan itu terjadi.” Bela ku sambil mencoba menjelaskan keadaan yang ada. Namun si mdr tak mau mendengar, dan dia kembali melanjutkan propagandanya (Propaganda? Ini orang lagi pidato apa lagi marah? Wkwkwk).
            “Pokoknya kamu harus hati-hati, saya gak mau tahu tadi itu lowong kek, kopong ke, pocong kek (lho?), kamu harus hati-hati, jangan mencelakakan orang lain!” dan beraneka macam kalimat lainnya.
            Saya pun berpikir, daripada ini perkara manjang gak karuan ya udah lah manut saja. Perjalanan masih jauh, dan bisa-bisa ntar telat buka puasa lagi, kan menyegerakan berbuka adalah sunnah bukan. “Ya pak, maaf kalo tadi saya salah?” Begitu lah kata-kata yang dikeluarkan sembari mendengarkan ceramah si mdr selama kurang lebih tujuh menit. “Tujuh menit? Lho, ini teh marah apa kultum? He.” Ya sudah mengalah sajalah. Toh kalah jadi arang, menang pun jadi abu bukan. Sama-sama gosong. Mudah-mudahan si bapak ini, juga bisa mengambil pelajaran dari drama senggol-senggolan yang telah terjadi. Kecelakaan memang tak bisa diprediksi kapan terjadinya, yang penting kita tetaplah berhati-hati. Begitulah konklusinya. “Waspadalah, waspadalah!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar