Jumat, 27 Juli 2012

Sebentuk Embrio Bernama FLP



            Tumbuh kembang sebuah bangsa tidak terelakkan dengan dunia sastra, singgungannya begitu lekat. Laiknya pasang surut air laut, akibat tarik menarik antara bumi dengan bulan. Pasang terjadi tatkala sang rembulan begitu dekat dengan bumi, sebaliknya surut melanda ketika mereka berjauhan. Sama halnya dengan hubungan kita dengan Tuhan. Ketika dekat, damailah sanubarimu, sebaliknya semakin engkau jauh maka semakin gersang kehidupanmu. Keras, pedih dan jauh dari kehangatan cinta Illahi. Begitulah hubung kait mereka.

            Sastra membuat manusia berpikir, menjadikan mereka menyukai keindahan dan anti kekerasan. Meski sastra bukanlah sebuah kebutuhan pokok, namun kehadirannya tak bisa diabaikan begitu saja. Bangsa ini dengan founding fathernya (Soekarno, Hatta serta kroni) begitu dekat dengan sastra. Mereka adalah penikmat kata. Apresiasinya luar biasa terhadap karya hasil cipta, rasa dan karsa seorang manusia berwujud sebuah sebuah buku. Buku begitu akrab dengan kehidupan mereka. Jika tidak disebut kutu buku, mereka adalah penggila buku. Pemikiran demi pemikiran yang di cerna dari sebuah buku, membuat paradigma mereka bermetamorfosis. Dan lihatlah hasil kerjanya, sebuah bangsa yang merdeka, terlepas dari kekangan penjajah. Berbentuk sebuah negara berdaulat, Indonesia Raya.
            Sastra tak melulu berbicara tentang kalimat-kalimat metafor maupun hiperbolik yang sukar di maknai, turunannya variatif. Cobalah ambil sebuah komik karya Beny and Mice, yang melulu menyajikan realita kusamnya negeri ini dengan renyah. Atau kartun Upin-Ipin, sederhana, namun memikat karena dekat dengan kehidupan kita. Itulah wujud terluar dari dunia sastra. Sastra mengusung sebuah misi, memanusiakan manusia. Itu yang terpenting.
            Minimnya apresiasi terhadap buku
            Ketika sebuah buku menjadi representasi sastra yang paling nyata, taruhlah buku kompilasi cerita pendek, cerita anak atau novel sekalipun. Nyatanya itu tidak menjadi suatu hal yang penting, alih-alih menjadi teman sehari-hari, malah jadi koleksi saja. Penghias rak buku, atau teman tidur semata. Beribu makna serta pelajaran yang terkadung, tergeletak percuma. Apalagi di era serba instan dewasa ini, mengkaji sebuah buku nampaknya menjadi perbuatan yang membuang waktu. Apalagi waktu adalah uang bukan? Sayang beribu sayang. Dan lihatlah kehidupan bangsa ini yang menjauhi budaya baca, anda bisa terjemahkan sendiri.
            Manusia itu berbeda dengan binatang. Punya moral, akhlak, nurani dan sanubari. Berkasih sayang, peduli, tenggang, empati dan tak sungkan untuk menolong. tapi beberapa sifat itu, dewasa ini mulai luntur. Luruh beriringan dengan kemajuan iptek yang tak dibarengi dengan peningkatan moral. Hasilnya target oriented, money oriented, and achieve oriented yang dalam perjalanannya seringkali mengabaikan norma-norma. Libas saja, yang penting tujuan tercapai. Dan sadar atau tidak sadar, kita telah hidup dalam kondisi yang seperti itu. Lantas apakah itu harus kita singkirkan? Tentunya tidak mungkin, impossible. Kita pun tak mungkin menyingkir, menghindar atau bahkan tak mau bersinggungan sama sekali. Mustahil!
            Disanalah sastra harus berdayaguna, mengembalikan jati diri manusia, memanusiakan manusia.
            Sebuah langkah pemulihan keberadaban manusia
            Pendidikan menjadi alat utama untuk mengubah, setidaknya memperbaiki borok yang ada. Namun hal tersebut bukanlah satu-satunya jalan, pelbagai ikhtiar bisa dilakukan. Pemberdayaan manusia untuk gemar membaca adalah sebuah keharusan. Karena sejatinya manusia selalu membutuhkan dan mencari hal baru. Dia ingin selalu terdepan, mahfum dan berkehendak menguasai segala. Dan itu tak mungkin digapai secara instan, serba cepat dalam kurun masa sesingkatnya. Seperti transfer data via kabel data atau bluetooth, ataupun mengunduh aplikasi. Kita bukanlah mesin, butuh proses yang mengorbankan waktu.
            Lewat membacalah pemulihan itu diupayakan. Pemberdayaan membaca untuk memulihkan sakit bangsa ini.
            Dan ketika engkau menyadari akan hal itu, maka bersegaralah diri menuju luasnya pertiwi. Mencari orang demi orang yang satu pemikiran. Lantas berbagai kelompok, organisasi maupun komunitas akan ditemukan. Salah satunya adalah Forum Lingkar Pena. Disini engkau akan menemukan berbagai macam manusia, dengan berbagai karakter namun memiliki kesamaan, yakni gilaan buku.
            Tak ada yang luar biasa dari komunitas tersebut, tak ada proyek sosial bantuan anak yatim, penanggulangan bencana, pencegahan korupsi ataupun proyek-proyek lainnya yang prestisius. Yang ada hanyalah kelompok diskusi, yang rajin mengupas suatu isu tertentu. Tentunya pula diskusi bukanlah suatu hal yang menarik, karena hanya berkutat di ranah pemikiran. Namun dari pemikiran itu, semua hal bermula. Apalagi jika pemikiran maupun persepsi positif yang dilontarkan, mampu meresapi pola pikir peserta yang lain, sehingga tergugah untuk berbuat suatu hal. Pergulatan pemikiran yang selanjutnya berpindah media, penuangan pemikiran pada selembar kertas. Kertas itu dicetak, disebarkan melampaui jarak dan batas antar pulau hingga akhirnya dibaca oleh seseorang dan melahirkan reaksi demi reaksi lainnya.
            Namun komunitas ini masih masihlah berupa embrio, belum menjadi manusia yang seutuhnya. Tapi embrio ini akan tumbuh berkembang, matang dan dewasa hingga akhirnya berbuat serta berkarya. Ia akan tumbuh penuh potensi, jika senantiasa dirawat, dijaga dan diperciki kasih sayang.
            “Lantas rawatlah embrio ini dengan penuh kasih sayang. Would you!?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar