Apa
hubungannya antara ayam negeri dan futsal? Apa ayam sekarang jago main futsal
(nothing impossible bukan), atau pemain futsal yang doyan ayam negeri (alternatif
mahalnya ayam kampus), atau main futsal di kandang ayam negeri (waaah, ini ngaco
pisan)? Pastinya tidak ada keterikatan, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Atau mungkin saja ada, meskipun baru sebatas kemungkinan semata.
Tapi
cerita yang berikut ini ada hubungannya lho! Meskipun tak jelas apa efek akibat
keterkaitan keduanya, abaikan saja. Begini ceritanya:
Suatu
malam, selepas bermain futsal, saya dan temen-temen seperti biasa nangkring
pinggir jalan. Kami kongkow di samping lapak tukang soto di jalan Gunung Putri,
itu tuh kampung yang terkenal dengan paberik tahu sumedangnya yang terletak di
jalur provinsi antara Purwakarta dan Bandung. “Tahu kan?” Kalo gak tahu, itu
mah kebangetan pisan! Coba atuh main kesini? Purwakarta masih luas lho, bukan
hanya situ buleud aja. He he he.
Seperti
biasa obrolan seputar pertandingan futsal yang telah usai, kembali dibahas. Mulai
dari membahas kesalahan strategi, salah memakai sistem pertandingan, salah
nempatin personil tim, hingga ke salah memakai kostum yakni pake baju renang
(Lho! Ini teh mau renang atau diving ya?).
Ketika
konsentrasi, khusyuk dan tu’maninah dengan pembicaraan diatas (hmmm, emang lagi
shalat ya?), kami tak menyadari jika di jalan raya sedang terjadi kemacetan. Rute
jalan yang mendaki dan menurun, memang sering menyebabkan kemacetan karena biasanya
truk besar yang membawa hasil bumi sering kewalahan mendaki akibat beban berat.
Dan kami pun sebagai warga setempat, sudah terbiasa dengan hal itu, sehingga
acuh saja. “Aah, sudah biasa.”
Tapi
ada yang tidak biasa dalam kemacetan kali ini. Ketika beberapa kendaraan terjebak
dalam sebuah kemacetan, seorang kernet truk berteriak-teriak. Begini kalau
tidak salah teriakannya:
“Woooooy
jang, itu aya hayam!”
“Ayam?
Ayam apaan? Malam-malam begini kok teriak begituan.” Komen saya dalam hati. Kemudian
si kernet kembali berteriak.
“Itu
hayam jang. Di tengah jalan. Cokot-cokot!”
Setelah
lama berunding dalam sebuah konferensi kilat (widih gayanya! Kayak pejabat lagi
rapat aja), kami pun merapat ke pinggir jalan.
“Aya
naon mang? Gogorowokan peuting-peuting!” tanya salah seorang rekan saya
berinisial “Bucek” (hmmm, bucek depp itu tea bukan? He).
“Itu
jang, hayam sing galoler di tengah jalan kitu. Nyaah bisi kageleng, coba cokot
jig!”
Pasca
melakukan inspeksi mendadak ke tengah jalan, ternyata memang didapati beberapa
ekor ayam negeri yang terikat kakinya dan menggelepar-gelepar. Jumlahnya ada sekitar
tiga ekor ayam.
“Wah
bener euy si amang!” komen bucek.
“Bantuan
urang yeuh, eureunkeun mobil anu keur maju, bisi urang anu kagelengna.” Lanjut
dia.
Dan
akhirnya setelah berkubang dalam peluh dan payah, ketiga ayam itu berhasil bucek
ambil. Sorak sorai pun membahana di seantero jalan raya, hip hip huuray, hip
hip huuray (ini kok kayak apaaa gitu? Ha ha ha). Bucek pun kembali ke kerumunan
dengan senyum kemenangan. Bahkan ia mengangkat ayam tersebut ke atas langit,
laiknya seorang atlit yang mendapatkan medali emas di Olimpiade London 2012. Lagu
Queen pun segera di iringkan: “We are the Champion.... na na na.” Lho?
“Ieu
hayam, urang naon keun nyak?” tanya nya.
“Geus
urang liwet wae.” Saran salah satu rekan. Yang lain pun ikut menimpali.
“Heueuh
di liwet wae. Lumayan euy. Berkah Ramadhan.”
“Di
bakar aja.”
“Sate-sate.”
Dan
berbagai komentar demi komentar lainnya, yang silih bergantian. Hingga akhirnya,
lagi-lagi lewat musyawarah mufakat dalam sebuah konferensi kilat, keputusan
diambil. Ayam tersebut akan di jadikan lauk di liwetan malam kali ini. Semua wajah
yang sebelumnya lelah, berubah sumingrah penuh semangat.
“Alhamdulillah
ya? Sesuatu banget.” Celetuk salah satu rekan kami, dan kami pun terbahak-bahak
dibuatnya.
Tapi
kebahagiaan itu sirna seketika, hanya sekejap saja kami diliputi kebahagiaan
yang teramat. Itu karena: waktu imsyak sudah datang, sehingga kami tak sempat
membuat nasi liwet nya. Eeehhh bukan, bukan! Bukan begitu ceritanya, ini salah
skenario nih. Ketika masih asyik dengan perbincangan seputar nasib si ayam
negeri, lalu ada seorang pria paruh baya yang celingak-celinguk mendatangi kami
dengan penuh harap.
“Punten
kang, tadi ningal hayam teu anu murag di tengah jalan?”
Kami
semua yang tadinya ricuh tak tentu, mendadak menutup mulut. Suasana menjadi
hening, dibalut dengan hembusan angin malam yang beku menjadikan saat itu
begitu penuh tanya (?*%#$@?). Bucek pun angkat suara.
“Hayam?
Hayam naon mang?”
“Hayam
negri. Tadi ditalian dina motor, eehhh si tali na pegat, jadi weh murag.”
Bucek
menanya si pria misterius tersebut penuh kehati-hatian, bermaksud menelisik
kebenaran perkataannya.
“Oooooh
kitu nyak. Emang aya sabaraha hiji hayam anu murag teh?”
“Tilu
ekor kang. Eta hayam teh pesenan ibu-ibu, kanggo icaleun enjing.”
Merasa
informasi yang diberikan pria misterius itu benar adanya, bucek pun dengan
berat hati menyerahkan ketiga ekor ayam tersebut (tentunya sambil sesenggukan, meski dalam hati). Dan ujung-ujungnya liwet
party pun urung digelar. Gagal permanen.
“Heeeeuuuuuh...
Eta sih niat na di liwet, coba jang dijual, jigana si anu boga hayam teh moal
balik deui kadieu.” Dan semuanya tertawa tanpa perlu dikomandoi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar