#1
Senggol-senggolan di jalan raya.
Cerita
kali ini bermula ketika saya menggeber si blackie (inisial tunggangan roda dua
kesayangan penulis), dalam perjalanan pulang dari Bandung menuju Purwakarta. Sore
hari itu seperti biasa blackie melesat dengan kecepatan sedang, tak sampai
angka 50 km yang nongol di spedometer. Ketika melaju di daerah sekitar Cibeureum,
Cimahi, ada seorang pengendara sepeda motor yang melajukan kendaraannya agak
serampangan. Maksudnya si pengemudi ini doyan nyalip kanan dan nyalip kiri
kendaraan lain, dengan manuver menyilang tajam yang bisa membahayakan pengemudi
lainnya (emangnya lagi drag race ya?). “Ah itu sudah biasa.” Gumamku melihat
keadaan di jalanan, yang dewasa ini memang semakin semrawut, dan saya pun tak
ambil pusing karenanya.
Ketika
terus melaju dengan si blackie, saya melihat si pengemudi drag race itu kembali.
“Eeeh, ketemu lagi.” Namun dia tak memacu kendaraannya seperti sebelumnya,
malah lebih lambat ketimbang laju si blackie. Posisi si pengemudi drag race itu,
tepat di depan saya. Lebih tepatnya lagi di sisi sebelah kiri dari si blackie. Saya
berpikir: “Aku salip aja ah itu orang.” Kondisi jalan pun mengijinkan, karena
di depan si blackie, selain si mr drag race itu, cuma ada sebuah sedan berwarna
hitam. Jarak antara kedua kendaraan itu pun berjauhan, sehingga ada ruang tuk
menyalip.
Setelah
menimang-nimang secara expres, saya pun kemudian memacu si blackie. Melaju diantara
mr drag race dan si sedan hitam, artinya si saya berada tepat di tengah-tengah
keduanya. Laju kecepatan yang dipacu tetaplah sedang. Perlahan si blackie
menyusul pantat kedua kendaraan tersebut (lho emangnya kendaraan ada pantatnya
gitu?), dan kemudian insiden pun terjadi.
Ketika
stang si blackie hampir sejajar dengan stang si mr drag race, mendadak si mdr
(singkat aje ye?!) oleng ke sebelah kiri kendaraan saya. Dan ... Braakk!!! Benturan
pun tidak terhindarkan. Namun karena laju kendaraan yang lambat, si blackie dan
si mdr hanya oleng saja, tak sampai terjungkal di tengah jalan. “Gila itu
orang! Untung gak nyungsep nie motor, kalo ampe begitu, bisa-bisa gak lebaran
nih!” Protes si saya dalam hati meski tanpa melahirkan sumpah serapah lainnya,
maklum gie puasa (alesan aje kali, apa takut? Weew). Pasca benturan kecil itu,
saya menoleh ke belakang, takut terjadi sesuatu hal yang diinginkan (eh maksudnya
#tidak diinginkan# he). Nampak si mdr sehat walafiat, selamat dunia akhirat
(lho?). Dan saya pun memacu kembali si blackie. “Sudahlah, yang penting
selamat.”
Eh
ternyata si mdr tidak terima dengan kejadian yang sudah lalu-lalang (maksudnya:
berlalu) itu. Dia mengejar saya dan si blackie. Kemudian si mdr menepuk bahu saya
dan menyerempet si blackie, menggiring ke pinggir jalan dengan
menghalang-halangi bahu jalan. Dia menunjuk-nunjuk saya, dengan maksud agar menepi
ke pinggir jalan. Saya pun manut saja. “Nothing to lose, soale i’m innocent
devil.”
Ketika
sampai di tepi jalan, jreng-jreng si mdr langsung membuka jaketnya. Memperlihatkan
seragam kebesaran dia sebagai korps AURI (alias angkatan udara republik
indonesia). “Lho apa maksudnya? Mau peragaan busana om?” sergahku.
Dia
langsung memaki saya tanpa mukadimah terlebih dahulu.
“Eh
kamu! Kalo pake motor itu yang bener dong! Jangan ngebahayain orang lain!”
semprot si mdr. (Lho emang kalo pake motor itu gimana ya?).
“Kamu
seneng ya kalo orang lain celaka?” Lanjut dia meneruskan pidatonya. Saya kemudian
mencoba menjelaskan kronologis kejadian sehingga ke dua motor saling senggol-senggolan.
“Maaf
pak, tadi saya maju dan coba nyalip bapak karena jalannya lowong. Cukup untuk
kendaraan saya melewati kendaraan bapak. Tiba-tiba motor bapak oleng ke arah
saya ketika saya sudah dekat dengan bapak, alhasil ya senggol-senggolan itu
terjadi.” Bela ku sambil mencoba menjelaskan keadaan yang ada. Namun si mdr tak
mau mendengar, dan dia kembali melanjutkan propagandanya (Propaganda? Ini orang
lagi pidato apa lagi marah? Wkwkwk).
“Pokoknya
kamu harus hati-hati, saya gak mau tahu tadi itu lowong kek, kopong ke, pocong
kek (lho?), kamu harus hati-hati, jangan mencelakakan orang lain!” dan beraneka macam kalimat lainnya.
Saya
pun berpikir, daripada ini perkara manjang gak karuan ya udah lah manut saja. Perjalanan
masih jauh, dan bisa-bisa ntar telat buka puasa lagi, kan menyegerakan berbuka
adalah sunnah bukan. “Ya pak, maaf kalo tadi saya salah?” Begitu lah kata-kata
yang dikeluarkan sembari mendengarkan ceramah si mdr selama kurang lebih tujuh
menit. “Tujuh menit? Lho, ini teh marah apa kultum? He.” Ya sudah mengalah
sajalah. Toh kalah jadi arang, menang pun jadi abu bukan. Sama-sama gosong. Mudah-mudahan
si bapak ini, juga bisa mengambil pelajaran dari drama senggol-senggolan yang
telah terjadi. Kecelakaan memang tak bisa diprediksi kapan terjadinya, yang
penting kita tetaplah berhati-hati. Begitulah konklusinya. “Waspadalah,
waspadalah!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar